Kebijakan dalam
pemerataan dalam segala bidang misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara
Indonesia berkesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan
kemakmuran.Idealnya,rakyat kecil yang suaranya mampu mengangkat para wakilnya
untuk menyuarakan aspirasinya dihadapan pemegang kebijakan, dapat memetik buah hasil
perjuangan mereka.Namun hal tersebut sekarang hanya menjadi angan-angan, Wakil
kita yang duduk di kursi parlemen bagaikan teman yang menikam kita dari
belakang.Memperkaya diri dengan harta-harta rakyatnya yang semakin dalam
keterpurukan.
Kemudian munculah sebuah pertanyaan,siapakah yang dapat rakyat kecil
andalkan untuk menyuarakan aspirasinya untuk menuntut haknya di hadapan
penguasa ibu pertiwi?.Maka munculah sesosok macan buas yang di sebut
mahasiswa,karena eksistensi mereka sebagai agen of change dapat kita mintai
pertanggung jawaban.Dan realitanya sekarang macan buas itu tidak jauh beda
dengan sosok buruk para wakil rakyat.
Kemana perginya para pejuang demokrasi ?
Pertanyaan ini adalah pertama kali terlintas ketika melihat realita
sosial yang terjadi di negeri ini. Sungguh menyedihkan melihat rakyat kecil
yang termarjinalkan oleh kekuasaan “saudara-saudaranya” yang mengaku sebangsa
dan setanah air. Dahulu saat perang kemerdekaan para founding fathers
kita berjuang melawan ketidak adilan para penjajah dari bangsa lain. Tapi kini
kita berjuang melwan ketidak adilan yang diciptakan oleh saudara-saudara kita
sendiri. Saat kampanye mereka para poli-tikus menjelma menjadi “manusia
setengah dewa” dengan segala janji manisnya. Tapi yang terjadi saat mereka
terpilih menjadi wakil kita. Banyak yang bertolak belakang antara janji dan aplikasinya
yang dirasakan hingga detik ini.
Ironisnya, 60% lebih diantara wakil rakyat yang terpilih dan duduk
manis di kursi DPR periode 2009-2014 baik di tingkat pusat maupun daerah adalah
wajah-wajah yang dahulunya berkecimpung di dunia organisasi mahasiswa dan
berhasil menggulingkan Soeharto dari tahta “kerajaan cendananya”. Mereka yang dahulunya
berteriak lantang melawan segala bentuk tirani yang terjadi dinegeri
ini,bertarung sepanjang waktu dengan nyawa sebagai taruhannya serta menjunjung
tinggi idealisme-nya sebagai mahasiswa. Namun, kini mereka menghianati
idealisme perjuangannya dan parahnya lagi mereka malah hanyut dalam kubang
politik kotor dan semu.
Kemana pergi eksistensinya kini? Bukankah mereka berhasil
menghentikan laju penguasa ORBA yang lalim? Seharusnya setelah 13 tahun
perjalanan demokrasi, bangsa ini lebih baik dari masa lalu, setidaknya hari ini
masyarakat merasakan nikmatnya udara merdeka di alam demokrasi, minimal dalam
hal memenuhi kebutuhan pokoknya. Lunturnya idealisme mereka saat mereka menjadi
mahasiswa dan saat menjadi anggota dewan seakan menguatkan opini publik bahwa uang
mampu mengubah sang macan menjelma menjadi seekor kucing manis yang selalu
setia pada majikannya.Dimana mereka disuap ikan(uang)yang lezat, maka disitu
mereka akan tidur lelap dalam pangkuan sang penyandang dana.
Ketika para aktivis mendendangkan syair kebebasan demokrasi 1998,
harapan yang tinggi di letakkan rakyat di pundak mereka yang mengaku sebagai
agen of change yang diharapkan memberikan angin segar dalam proses reformasi
birokrasi yang sarat akan ketidakjelasan.
Sebagai control sosial mahasiswa seharusnya turun ke bawah melihat
kembali realitas masyarakat yang kian terpuruk, bukan malah terlena dalam
parodi politik yang mengedepankan kepentingan indivudual dan kelompok tertentu.
Semoga sang macan buas kembali ke jalur tujuannya sebagai agen of
change bagi kaum marginal di negeri ini.
SALAM MAHASISWA!!!