Bagi suami istri, pemanasan sebelum melakukan hubungan
badan memang sangat dianjurkan. Kesiapan istri sebelum penis suami memasuki
vagina istri sangatlah penting. Bahkan Rasulullah saw melarang
seorang suami mendatangi istrinya to
the point langsung ke
vaginanya.
Sahabat Nabi saw yang bernama Jabir bin Abdullah
meriwayatkan:
“Rasulullah saw melarang bersetubuh sebelum mencumbu sang
istri.”
Istri yang sudah terbangkitkan gairah seksualnya akan
siap secara fisik dan psikis. Secara fisik, paling tidak vaginanya sudah basah
terlumasi lendir yang mencegah iritasi berlebihan pada vagina yang akan
dimasuki penis suami. Secara psikis, dengan pemanasan, sang istri mulai menuju
puncak kenikmatan (orgasme).
Hanya saja yang perlu diperhatikan, pemanasan versi Islam
berbeda dengan pemanasan versi Barat. Islam yang diturunkan oleh Allah SWT yang
menciptakan wanita sangat tahu bagaimana cara membangkitkan gairah seksualnya.
Wanita sangat suka dirayu. Kata-kata pujian yang masuk ke telinganya cukup
membuat seorang wanita terbangkitkan gairah seksualnya. Islam pun tahu bahwa
seluruh tubuh wanita menjadi tempat yang sensitif secara seksualnya. Beberapa
titik di tubuhnya, seperti leher, bibir, telinga, payudara, pantat, paha, dan
bibir luar vagina, bahkan sangat sensitif. Sentuhan dalam bentuk ciuman
terhadap titik-titik tersebut akan mempercepat keterangsangan sang istri
sehingga ia siap didatangi oleh suaminya.
Rasulullah saw bersabda:
Laa yaqa’anna ahadukum imra`ataHu kamaa taqa’ul baHiimatu
walyakun bainaHumaa rasuulun.
Qiila wa maa ar-rasuulu yaa rasuulallaaHi?
Qaala al-qublatu
wal kalaamu.
Artinya:
“Sungguh tidak boleh dari kalian mengauli istrinya sebagaimana
yang terjadi pada hewan (keledai). Maka hendaklah antara keduanya ada
perantara.”
Beliau ditanya, “Dan apakah perantara itu, wahai
Rasulullah?”
Beliau bersabda, ”Yaitu ciuman dan rayuan.” (HR. Dailami)
Jadi, suamilah yang diperintahkan untuk aktif merangsang
istri. Pada umumnya wanita memang lambat terangsang seksualnya dan perlu upaya
suami untuk membangkitkannya sebelum memasukkan penisnya ke vagina istri.
Berbeda halnya dengan laki-laki yang pada umumnya sangat mudah terangsang.
Cukup dengan melihat tubuh istri, mencium harum tubuhnya, dan tersentuh sedikit
saja sudah menyebabkan penis suami tegak dan siap memasuki vagina istri. Di
sinilah letak perbedaan perangsangan bagi istri dengan perangsangan bagi suami.
Suami boleh menciumi seluruh tubuh istri agar ia terangsang dan mulai menuju
puncak orgasme, sedangkan istri tidak.perlu merangsang suami karena penis suami
mudah ereksi, kecuali jika suaminya kurang normal (penisnya sulit tegak)
sehingga perlu terapi perangsangan dari sang istri.
Adapun pemanasan gaya Barat jauh berbeda dengan Islam.
Masyarakat Barat adalah masyarakat liberal (serba bebas) termasuk dalam urusan
seksual. Tujuan akhir yang mereka cari hanyalah kepuasan, dalam hal ini
orgasme. Jika pemanasan dalam Islam adalah agar vagina istri siap dimasuki
penis suami, maka Barat tidak mengharuskan jalan ini. Jika dengan dimasukkan
dubur wanita/ pria atau mulut wanita/ pria bisa tercapai kepuasan, maka hal itu
akan dilakukan. Itulah sebabnya kenapa Posisi 69 menjadi pilihan masyarakat
Barat, khususnya kaum gay dan lesbian. Bagi suami dan istri, Posisi 69 sering
dilakukan dengan cara suami di bawah istri di atas, lalu istri (mohon maaf)
menjilati dan mengulum penis suami yang sudah ereksi, sedang suami menjilati
clitoris istri. Bagi yang sudah merasa puas dengan posisi ini, memasukkan penis
suami ke vagina istri sudah bukan menjadi keharusan. Karena dengan posisi ini
suami bisa orgasme, demikian pula istri. Dan orgasme inilah satu-satunya yang
dicari oleh masyarakat Barat. Posisi ini tentu bukan posisi yang dianjurkan
oleh Islam baik untuk pemanasan, untuk mencapai orgasme, apalagi untuk menanam
benih keturunan. Karena dalam Islam, penis suami tidak mampir ke bibir istri
apalagi masuk mulut istri, tapi masuk ke vagina istri yang satu itu.
‘An Ummu Salamata ‘anin nabiyyi (saw) fii qauliHi
ta’aalaa (nisaa`ukum hartsun lakum fa`tuu hartsakum anna syi`tum) ya’nii
shimaaman waahidan.
Artinya:
Dari Ummu Salamah dari Nabi saw tentang firman Allah:
“Istri-istrimu itu laksana tanah tempat bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu (dengan cara) bagaimana saja kamu kehendaki”, yakni
pada vagina yang satu (itu).” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi, dan Tirmidzi berkata: hadits ini Hasan)
versi
lain
Sesungguhnya kegiatan suami istri dengan cara yang
boleh jadi dianggap aneh oleh sebagian orang ini menjadi pertanyaan banyak
pasangan muslim. Boleh jadi sebagian pasangan merasa nikmat, lebih semangat,
dan lebih bergairah dalam melakukan pemenuhan kebutuhan biologis ini. Namun
boleh jadi sebagian yang lain menganggap buruk dan menjijikkan. Sehingga tak
layak dilakukan oleh orang muslim. Akahirnya hal ini menimbulkan tanda
tanya tentang hukum bolehnya?.
Sebenarnya, telah banyak keterangan dan jawaban ulama
terhadap masalah hubungan suami istri ini. Pada ringkasnya, diakui bahwa
sebagian orang merasa jijik dan menganggap buruk bentuk cumbu rayu semacam ini.
Sehingga paling utama adalah menjauhi dan menghindarinya. Tetapi bersamaan hal
itu, mereka tidak bisa mengharamkan dengan tergas. Karena tidak ada ketegasan
dari nash syar'i yang mengharamkannya. Tetapi jika memang terbukti itu
berbahaya, maka jenis foreplay yang bisa menyebabkan penyakit dan bahaya
diharamkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Dan Dia
mengharamkan atas kalian yang buruk-buruk." (QS. Al-A'raf: 157)
Selanjutnya kami akan suguhkan jawaban salah seorang
ulama yang mendapatkan pertanyaan serupa, yaitu Syaikh Khalid Abdul Mun'im
al-Rifa'i. Kami menilai jawaban beliau terhadap masalah tersebut cukup jelas
dengan argument mendasar dalam mejawab pertanyaan tersebut. Berikut ini
kami kami terjemahkan dari fatwa beliau, yang judul aslinya: حكم لحس الرجل لفرج
زوجته والعكس "Hukum suami menjilat kemaluan istrinya dan sebaliknya".
Soal: Apa hukum membangkitkan
syahwat/libido istri dengan cara menjilat farjinya dengan lidah suaminya,
begitu juga terhadap sang suami? Jazakumullah Khairan.
Jawab: Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.
Adapun berikutnya:
Sesungguhnya asal dalam hubungan suami istri adalah
mubah, kecuali apa yang disebutkan larangannya oleh nash: berupa mendatangi
istri pada dubur (anus)-nya, menggaulinya saat haid dan nifas, saat istri
menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan berupa salah
satu pasangan menjilati kemaluan pasangannya, dan praktek dalam
bersenang-senang yang telah disebutkan dalam pertanyaan, maka itu tidak apa-apa
berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Itu termasuk dari keumuman
bersenang-senang yang dimubahkan.
2. Jika coitus dibolehkan yang
merupakan puncak bersenggama (bersenang-senang), maka yang dibawah itu jauh
lebih boleh.
3. Karena masing-masing pasangan boleh
menikmati anggota badan pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali
pengecualian yang telah disebutkan oleh syariat sebagaimana yang telah kami
sebutkan di atas.
4. Firman Allah Ta'ala,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
"Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat
kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya.
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah:
223)
Ibnu Abidin al-Hanafi berkata dalam Radd al-Mukhtar:
Abu Yusuf pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang laki-laki yang
membelai farji istrinya dan sang istri membelai kemaluan suaminya untuk
membangkitkan syahwatnya, apakah menurut Anda itu tidak boleh? Beliau menjawab,
"Tidak, aku berharap itu pahalanya besar."
Al-Qadhi Ibnul Arabi al-Maliki berkata, "Manusia
telah berbeda pendapat tentang bolehnya seorang suami melihat farji (kemaluan)
istrinya atas dua pendapat: salah satunya,membolehkan, karena jika ia
dibolehkan menikmati (istrinya dengan jima') maka melihat itu lebih layak
(bolehnya). . . . . salah seorang ulama kami, Asbagh (Ulama besar Madhab Maliki
di Mesir) berkata: Boleh baginya (suami) untuk menjilati –kemaluan istrinya-
dengan lidahnya."
Dalam Mawahib Al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil
disebutkan, "Ditanyakan kepada Ashbagh; Sesungguhnya suatu kaum
menyebutkan kemakruhannya. Lalu beliau menjawab: orang yang memakruhkannya, dia
hanya memakruhkan dari sisi kesehatan (medis), bukan berdasarkan ilmu (dalil).
Itu tidak apa-apa, tidak dimakruhkan. Diriwayatkan dari Malik, beliau pernah
berkata: tidak apa-apa melihat farji (kemaluan) saat berjima'. Dalam satu
riwayat terdapat tambahan, "Dan ia menjilatinya dengan lidahnya."
Al-Fannani al-Syafi'i berkata: "Seorang suami
boleh apa saja setiap melakukan hubungan dengan istrinya selain lubang
duburnya, bahkan menghisap clitorisnya.
Al-Mardawi al-Hambali berkata dalam al-Inshaf:
Al-Qadhi berkata dalam al-Jami': "Boleh mencium farji (kemaluan) istri
sebelum jima' dan memakruhkannya sesudahnya . . istri juga boleh memegang
dan menciumnya dengan syahwat. Ini dikuatkan dalam kitab al-Ri'ayah, diikuti
dalam al-Furu', dan diperjelas oleh Ibnu 'Aqil.
Namun jika terbukti jelas cara bercumbu semacam itu
menyebabkan penyakit dan membahayakan pelakunya, maka saat itu ia wajib
meninggalkannya berdasarkan sabda nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
"Tidak boleh (melakukan sesuatu) yang membahayakan diri sendiri dan
membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah dalam sunannya)
Begitu pula apabila salah seorang pasangan merasa
tersakiti (tidak nyaman) karena perbuatan tersebut dan membencinya: maka wajib
atas pelaku (suami)-nya untuk menghentikannya. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta'ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan bergaullah dengan mereka secara
patut." (QS. Al-Nisa': 19)
Dalam hal ini harus diperhatikan tujuan dasar dari
hubungan suami istri, yakni permanen dan kontinuitasnya. Asal dari akad nikah
adalah dibangun di atas kelanggengan. Allah Ta'ala telah meliput akad ini
dengan beberapa peraturan untuk menjaga kelestariannya dan menguatkan orang
yang menjalaninya sesuai dengan ketentuan syariat bukan dengan sesuatu yang
menyelisihinya. Masuk di dalamnya solusi berhubungan antar keduanya. . .
Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/03/06/18049/untuk-menggelorakan-syahwat-bolehkah-suami-menjilati-farji-istrinya/;#sthash.akZXoH2C.dpuf
INTINYA
setelah kita amati ke2 versi tersebut inti dalam masalah ini tidak diperbolehkan mencumbui kemaluan istri/suami, dikarenakan tidak beradab (menyamai hewan), tidak sehat secara medis.
Jadi, tinggalkan Posisi 69 gaya liberal itu! Pakailah cara Islam, pasti selamat, sehat, ni`mat, dan sampai pada tujuan diadakan naluri seksual pada diri manusia, yakni mendapatkan keturunan yang baik