Secara umum tidak masalah berdoa
di sosial media atau di tempat umum atau berdoa dengan
suara yang di dengar orang lain. Dalil masalah ini cukup banyak, diantaranya
doa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika
khutbah jumat karena permintaan orang badui agar beliau memohon kepada Allah
untuk segera menurunkan hujan. Termasuk doa-doa yang dibaca oleh khatib ketika
khutbah jumat. Dan kita tahu, doa itu dibaca di tempat umum, di hadapan banyak
masyarakat.
Hanya saja, untuk beberapa kasus tertentu terkait doa di sosial media, ada
beberapa catatan yang perlu diperhatikan,
Pertama, membuat status berisi doa di sosmed dalam rangka mengajarkan doa yang
shahih kepada orang lain. Misalnya memposting doa yang benar ketika hendak
tidur, atau bangun tidur atau dzikir pagi – petang, atau doa selama hujan, dst.
InsyaaAllah kegiatan semacam ini termasuk amal sholeh. Mendakwahkan kebaikan
kepada rekan-rekan di sosial media untuk melakukan amalan sunah. Karena itu,
perlu kita pastikan, doa yang anda sebarkan, telah terjamin keshahihannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bahwa
orang yang memotivasi orang lain untuk berbuat baik, dia akan mendapatkan
pahala seperti orang yang mengikuti ajakannya. Dalam hadis dari Abu Mas’ud
Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Siapa yang menunjukkan kebaikan, dia akan mendapatkan pahala seperti pahala
pelakunya (orang yang mengikutinya). (HR. Muslim 1893).
Kedua, doa yang sifatnya pribadi
Doa yang tidak selayaknya didengar orang lain, yang merupakan bagian dari
privasi seseorang, tidak selayaknya disebarkan di sosmed. Seperti doa yang
isinya penyesalan atas perbuatan maksiat dengan menyebutkan bentuk maksiat yang
dilakukan. Atau doa yang isinya keluhan masalah pribadi, yang tidak selayaknya
diketahui orang lain.
Karena kita diajarkan untuk selalu menjaga kehormatan, dan tidak
membeberkan aib pribadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ
أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ
اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا،
وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Setiap umatku dimaafkan (kesalahannya) kecuali orang-orang melakukan
mujaharah (terang-terangan bermaksiat), dan termasuk sikap mujaharah adalah
seseorang melakukan sebuah perbuatan dosa di malam hari, kemudian pagi harinya
dia membuka rahasianya dan mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan
seperti ini, seperti ini’, padahal Allah telah menutupi dosanya. Di malam hari,
Allah tutupi dosanya, namun di pagi hari, dia singkap tabir Allah pada dirinya. (HR. Bukhari
6069).
Syariat juga mengajarkan agar kita tidak menjadi hamba yang mudah mengeluh
kepada orang lain. karena sikap semacam ini menunjukkan kurangnya tawakkal.
Allah mencontohkan sikap para nabi, yang mereka hanya mengeluhkan masalahnya
kepada Allah. Nabi Ya’kub, ketika mendapatkan ujian kesedian yang mendalam,
beliau mengatakan,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan
kesusahan dan kesedihanku..” (QS. Yusuf: 86)
Allahu a’lam
sumber: