“Sebagai Wakil Presiden sampai akhir
hayatnya Hatta tidak bisa membeli sepatu Bally. Bahkan ia sering kuatir jika
tidak bisa membayar rekening listrik dan air di rumahnya.”
Indonesia
membutuhkan Hatta, bukan sebagai sosoknya karena beliau telah tiada tapi
pemikiran, karakter dan kenegarawanan beliau. Hatta pemimpin yang jujur,
sederhana dan cinta tanah air. Salah satu kisah kesederhanaan mengugah dari
Bung Hatta yang dikenang masyakarat adalah kisah tentang sepatu Bally. Pada
tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tentu
tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu Bally.
Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu
berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun, uang tabungan
tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah
tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya
untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung
Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat
mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta
wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta.
Jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sebenarnya sangatlah mudah bagi
Bung Hatta untuk memperoleh sepatu Bally.
Misalnya, dengan
meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia
memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari.
Seorang mantan wakil
presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin
delegasi perundingan dengan Belanda hingga Belanda mau mengakui kedaulatan
Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu
bermerek terkenal. Meski memiliki jasa besar bagi kemerdekaan negeri ini, Bung
Hatta sama sekali tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri
dari orang lain atau negara.
Di sinilah letak
keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri
dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal
karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Segala yang dilakukan Bung Hatta sudah mencerminkan bahwa dia
tidak hanya jujur, namun juga uncorruptable,
tidak terkorupsikan. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya
dengan melakukan tindak korupsi. Mungkin banyak masyarakat berkomentar,
“Iya, lha wong sepatu Bally harganya, kan, selangit.”
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap
mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan
membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus
berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain dan
juga uncorruptable.
Bung Hatta juga
pernah mengucapkan sumpah yang kurang lebih berarti sama, yaitu bahwa dia tidak
akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Baginya, Indonesia adalah di atas
segalanya, bahkan kesenangannya sendiri. Dan janjinya itu terus dipegangnya.
Sekedar mengingatkan, Mohammad Hatta baru menikah 18 November 1945 atau tiga
bulan setelah beliau dan Soekarno mengumandangkan kemerdekaan Indonesia
mewakili seluruh rakyat Indonesia, dalam usia 43 tahun. Dan mengingatkan juga,
bahwa yang mencarikan istri dan juga melamarkan untuknya adalah Soekarno,
sementara Bung Hatta sendiri tetap belum memikirkannya.
Hatta adalah pribadi yang sangat sederhana, mungkin kembali
lagi karena kecintaannya kepada tanah air, sehingga dia merasa malu untuk
bermewah-mewahan sementara negaranya dan saudara-saudara sebangsanya masih
kesusahan. Sesak membayangkan sosok yang berkontribusi lansung pada kemerdekaan
negeri ini mengeluh kepada anak istrinya
takut tidak mampu membayar tagihan rekening listrik dan PAM. Kesederhanaan itu
juga yang membuatnya berpesan agar dimakamkan di TPU Tanah Kusir bersama-sama
rakyat ‘biasa’ Indonesia lainnya, daripada bersama-sama para pahlawan di TMP
Kalibata.
Hubungan dengan Bung
Karno
Satu hal yang juga saya ingat dari Bung Hatta adalah
bagaimana dia tetap menjaga hubungan baik dan silaturahim dengan orang-orang
yang mungkin berseberangan secara ideologi atau pandangan politik. Yang paling
gampang adalah hubungannya dengan Bung Karno. Banyak saksi sejarah yang
menuturkan Bung Hatta sering mengritisi kebijakan politik Bung Karno.
Pengunduran diri Mohammad Hatta tahun 1956 sendiri karena banyaknya perbedaan
visi antara keduanya. Setelah mengundurkan diri pun Hatta tetap rajin
mengritisi kebijakan-kebijakan Soekarno, baik di media massa maupun melalui
surat-surat pribadi. Tapi saat Hatta diserang stroke tahun
1960, Bung Karno secara khusus mengunjungi beliau dan membujuknya agar mau
berobat ke Eropa dengan biaya negara. Bung Karno menitip pesan kepada
sekretaris pribadi Bung Hatta agar menjaganya, dan Bung Hatta juga berpesan kepada
orang dekat Soekarno untuk menjaga sahabatnya itu.
Hatta pun demikian,
saat Soekarno sakit keras di tahun 1970 beliau datang menjenguk, saling
berpegangan tangan, dan sama-sama menangis. Hatta juga yang menjadi wali Guntur
Soekarnoputra saat menikah di Bandung sebab Soekarno tidak bisa menghadiri
karena menjadi tahanan kota.
Hatta sendiri juga
berusaha untuk tidak menyerang Soekarno secara pribadi di dalam
tulisan-tulisannya atau pidato-pidatonya. Ia selalu mengingatkan untuk tidak
usah mempertanyakan kecintaan Soekarno kepada tanah air, meskipun Soekarno
beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan pemikiran dia
(Hatta). Saat di luar negeri, Hatta juga mengurangi kritiknya kepada Sokarno
karena tetap berusaha menjaga nama Indonesia (dan Soekarno) di dunia
international.
Hatta juga pernah
ditanyai pendapatnya tentang Soekarno saat di Amerika, dan dia menjawab, “Dalam
banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik
Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun.
Benar atau salah, ia presiden saya.”
Keakraban yang
‘tidak lazim’ bila dilihat dari keseharian mereka di dunia politik. Dan
ketidaklaziman yang perlu diteladani oleh pemimpin-pemimpin kita
saat ini. Banyak kisah yang menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia
pernah memiliki seorang pemimpin dan negarawan yang teramat bersahaja. Suri
teladan yang perlu diteladani dari Bung Hatta adalah sifat dan perilakunya yang
fair dan jujur. Jujur di sini, tidak hanya terbatas pada tidak melakukan
praktik KKN selama berkuasa . Namun, lebih dari itu, Bung Hatta jujur terhadap
hati nuraninya. Semoga pemimpin Indonesia ke depan belajar dari Bung
Hatta.
(bebagai sumber)