Makna Ghibah:
Apa itu ghibah? Ghibah atau menggunjing adalah membicarakan orang lain yang
orang yang kita bicarakan itu tidak ada di sisinya dengan suatu perkataan yang
apabila ia mendengarnya maka membuatnya ia tidak suka. Dalam sebuah hadits
riwayat imam Muslim dari jalan sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا
أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya :
“Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?. Para sahabat menjawab : Allah
dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia
benci. Ada yang bertanya. Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakana
itu betul-betul ada pada dirinya?. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab : Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat
ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah
memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan)” [HR Muslim : 4690].
Haramnya Menghibah:
Masalah ghibah kelihatannya adalah masalah yang sepele dan ringan, akan tetapi
sebenarnya masalah ini adalah masalah yang sangat berat karena menyangkut
kehormatan seseorang. Apalagi kalau yang dighibah adalah saudara Muslim kamu
sendiri yang mana kehormatan seoarang muslim sangat dijaga. Rasululloh SAW
bersabda :
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ
هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan
kalian) semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini
(hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”
Mengenai hukum haramnya ghibah, dalilnya sudah sangat jelas sekali baik yang
terdapat dalam Al-Qur’an, hadist Nabi dan kesepakatan kaum muslimin sendiri.
Men-ghibah adalah perbuatan kemungkaran yang sangat besar yang sangat
diharamkan, bahkan termasuk dari dosa-dosa besar. Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
(artinya) :
“Janganlah sebagian kalian menggunjing/ mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati ? Maka
tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Al Hujurat :
12)
Ghibah
yang diperbolehkan
Ghibah dan
menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah
dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan
menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1- Mengadu tindak kezaliman
kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad
telah menzalimiku.”
2- Meminta tolong agar
dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat
kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang
yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan
kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3- Meminta fatwa pada seorang
mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku
demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia
lakukan.”
4- Mengingatkan kaum muslimin
terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi
hadits.
5- Membicarakan orang yang
terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia
lakukan, bukan pada masalah lainnya.
6- Menyebut orang lain dengan
sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika
ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi
di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal
saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa misi
berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia
mendapat backingan dari non muslim dan Rafidhah (baca: Syi’ah), maka sudah
barang tentu kaum muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan
adalah yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa
bukti. Wallahu waliyyut taufiq.